jurnal, sastra

Bubur Abang Putih, sebuah Tradisi yang (Masih) Ada di Keluarga Kami

wening - buburabangputihBubur abang putih? Apa itu? Menurut bahasa, abang berarti merah, dan putih berarti putih. Jadi, sama saja dengan bubur merah putih. Kenapa disebut dengan merah putih? Apa karena warnanya yang merah dan putih? Ya, betul sekali. Bubur biasa memang berwarna putih, dan warna merahnya ini berasal dari warna dari gula jawa.

Bubur merah putih atau orang Jawa menyebutnya ‘bubur abangputih’ ini memang sudah menjadi tradisi Jawa. Jika nasi megono biasa digunakan saat pindah rumah atau menempati rumah baru, ‘bubur abangputih’ ini biasanya digunakan pada saat memberikan nama kepada anak.

Terdapat pemaknaan simbolik terhadap ‘bubur abangputih’ ini. Jika abang atau merah menyimbolkan keberanian, maka putih menyimbolkan kesucian (mirip bendera Indonesia ya, hehe). Saat moment pemberian nama kepada anak, ‘bubur abangputih’ ini merupakan simbol dari harapan sebuah keluarga agar kelak si anak memiliki keseimbangan antara sifat berani (dalam kebenaran) dan kesucian (dalam kebenaran).

Almarhum Mbah Kakung saya (Ayah dari ibu saya), memang masih menjunjung tinggi adat dan tradisi Jawa. Semasa hidup, beliau masih  melestarikan tradisi Jawa. Salah satunya, ketika ibu saya lahir, kebetulan hari Jumat Kliwon, (Mbah Kakung dan Mbah Putri harus menunggu selama 5 tahun baru dikaruniai seorang putri), masih ada kepercayaan mengenai ‘Bocah Sukerta’, yaitu menurut kepercayaan orang Jawa, Bocah Sukerta adalah seorang anak atau bocah bisa selamat dan hidup harus diruwat dengan slametan, sesaji dan mengadakan pentas wayang kulit dengan lakon “Murwa kala”. Jika sudah diruwat, bocah sukerta tadi bisa tidak menjadi mangsa Bathara Kala sehingga bisa selamat hidupnya. Kebetulan, ibu saya masuk dalam daftar Bocah Sukerta , yaitu Ontang-Anting atau anak tunggal satu-satunya. Dan benar, ketika Ibu saya menginjak usia 16 tahun, mau menuju 17 tahun, dibuatkan acara Wayang Kulit dan ritual ruwatan. Menurut cerita Ibu, ada acara saat Ibu dirangkul dan diciumi banyak keluarga dan tetangga dengan banyak tangisan, katanya bisa saja Ibu tidak selamat dari Bathara Kala (saya jadi berimajinasi menonton Ketoprak Wayang, hehe…). Dan, Alhamdulillah ritual pun berjalan lancar sampai Ibu dinyatakan selamat. Nama Ibu yang semula “Hartati Sriwahyuni” dirubah menjadi “Teguh Hartati”, dan diharapkan bisa menjadi perempuan yang teguh dan kuat.

Dan, sampai saat ini, masih saja dilestarikan tradisi membuat  ‘bubur abangputih’ di keluarga kami yang dilakukan setiap bulan di hari Jumat Kliwon, yang kemudian dibagikan ke tetangga-tetangga dekat. Dengan harapan intinya masih bisa melestarikan tradisi dan budaya Jawa, sekaligus mengucap rasa syukur dengan membagikannya juga ke orang terdekat. Oiya, bahkan anak tetangga depan rumah kami, namanya Arif, hari lahirnya juga sama dengan Ibu saya yaitu Jumat Kliwon, dan bahkan dia selalu menunggu dengan setia setiap bulannya untuk bisa mencicipi  ‘bubur abangputih’ yang enak ini, hehe…

Oiya, cara penyajiannya memang biasanya bubur merahnya yang banyak, lalu diberi toping bubur putihnya. Namun karena saya paling suka bubur putihnya, jadi khusus untuk saya sendiri, menyajikannya terbalik , bubur putih yang banyak, lalu toping bubur merah, hehe…

‘Bubur abangputih’ ini rasanya nanonano dan paling cocok disajikan saat panas. Untuk yang putih memang seperti bubur pada umumnya, gurih karena santan dan sedikit asin karena garam. Namun untuk bubur merahnya memang manis karena gula merahnya. Dijamin ketagihan deh, enaknya recommended. Apalagi disantap pas cuaca dingin-dingin.

Resepnya juga sangat sederhana, sama seperti membuat bubur pada umumnya kok, coba yuuuk 🙂

Bubur Abang Putih

Bahan-bahan :
250 gram beras
1000 ml santan encer
500 ml santan kental
250 gram gula merah, disisir halus
2 helai daun pandan
Garam dan Air secukupnya

Cara membuat :

  1. Beras dimasak dan dicampur dengan santan encer, garam dan daun pandan. Aduklah hingga mengental menjadi bubur.
  2. Jika sudah tuangkan santan yang kental, aduk, lalu tunggu sebentar baru diangkat.
  3. Bubur putih dibagi menjadi dua bagian, satu bagian disisihkan.
  4. Satu bagian lagi dimasak kembali dengan gula merah yang sudah disisir halus, kemudian diaduk hingga warnanya berubah menjadi kecoklatan dan tercampur rata.
  5. Sajikan bubur dengan cara mengkombinasikan antara bubur merah dan bubur putih sesuai selera.

 

6 thoughts on “Bubur Abang Putih, sebuah Tradisi yang (Masih) Ada di Keluarga Kami”

  1. wah kalau sy dulu lagi kecil buat camilan sore sering banget dibuati ibuku bubur merah putih dan kita2 suka sekali, jd kangen bubur merah putih, sekarang org sudah jarang buat ya

Leave a comment