jalan-jalan, jurnal, mbakyublogger, sentra industri, wisata, wonosobo

Berkunjung ke Kampung Irig di Dusun Marong, Kertek, Wonosobo

“Pagi Mbak..”

“Seandainya mini trip dilaksanakan besok pagi jam 9 saget Mbak?”

Begitu chat dari mas Adhit yang bertugas di Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, dan Transmigrasi Kab. Wonosobo. Saya sudah pernah ketemu 2x kayaknya. Yang pertama saat menjuri di lomba Proposal Kreatif (atau apa saya lupa?), trus yang kedua saat kami sama-sama diundang rapat dengan Dinas Pariwisata terkait kerjasama Pemkot Tasikmalaya, sempat ngobrol sedikit sih, tapi masih sekedar basa basi gitu. Oiya, fyi, mas Adhit ini teman sebangku Mas Erwin saat SMA, kelas I atau II saya pernah diceritain tapi lupa (ih lupa mulu, hihi).

Woaaaaa.. bingung deh antara iya atau enggak. Karena sebenarnya saya yang ngusulin ide minitrip ini, masa sudah di-iya-in saya-nya bilang enggak. Tapi karena mendadak gini kan jadi kurang persiapan juga. Niatnya pingin ngajak-ngajak temen-temen lain, dan siang itu saya langsung berusaha mengkontak banyak teman kayak Dhimas, mbak Tiyas, Dila, April, Arba, Randi dan lainnya ternyata pada nggak bisa. Tapi, tidak lama ada chat masuk, dan Alhamdulillah Ilham bisa. Sebelumnya, yang pasti Bapak Kinan lah, dengan jurus seribu rayuan, akhirnya beliau mau, hihi.. Yeay!  Thanks Mas Erwin, thanks Om Ardha!

Dan karena keterbatasan kuota juga, akhirnya yang berangkat saya, Mas Erwin, Ilham, dan Kinan 😛 ! Pukul 9 lebih dikit kami sudah sampai di Disnaker Wonosobo. Tidak lama, kami berangkat dengan 1 mobil menuju lokasi kunjungan. Dari Dinas, kami didampingi 3 orang *istilah mas Adhit : penyuluh. Ada mas Iman, mas Romi dan mas Adhit sendiri. Di jalan, mas Adhit cerita kalau tim-nya ini yang sering “jalan-jalan” alias tim lapangan, jadi sudah terbiasa “blusukan” kemana-mana.

Lokasi pertama, kami mampir ke Gerbang Mendolo. Depan terminal Mendolo yang sekarang dimanfaatkan untuk display banyak kerajinan dan oleh-oleh khas Wonosobo. Bulan lalu juga dipakai untuk acara Pesta Ekonomi Kreatif Wonosobo 2017. Ada banyak banget produk kerajinan, ada gantungan kunci dari manic-manik, ada pigura dan lampu cantik dari kayu, lalu ada produk sulam dari ibu-ibu kelompok Mawar, iket saba, hingga produk-produk seperti kaos, dan olahan bambu. Lengkap, komplit! Di salah satu stand-pun ada banyak oleh-oleh Wonosobo seperti Carica, tiwul dan keripik kentang. Jadi, buat yang pingin cari oleh-oleh khas Wonosobo atau lagi mampir ke Terminal mendolo, gak ada salahnya main kesini yak. Sebenarnya akan lebih bagus lagi kalau ada papan petunjuk yang gede dengan tulisan “Pusat Kerajinan dan Oleh-Oleh Wonosobo” atau lainnya di arah gerbang masuk, biar yang lewat bisa “ngeh” dan tahu bahwa disitu ada tempat yang bisa didatangi untuk cari hal-hal yang khas Wonosobo.

Lanjut ke lokasi kedua, kami diantar ke Dusun Marong, Kelurahan Karangluhur, Kecamatan Kertek. Kalau dari arah Wonosobo, setelah pom Bensin Siyono masih maju sedikit akan menemukan pertigaan (jalan tikus menuju Temanggung/Magelang, jadi tidak lewat Pasar Kertek), belok ke kiri, ikuti jalan itu kira-kira 10 menitan. Lalu, akan ada tulisan Dusun Marong. Belok kanan, masuk ke jalan dusun. Nhah, sampailah kami. Pertama, kami menuju ke rumah Bapak Nur Hakim.

Ngobrol-ngobrol dengan Pak Nur, kami baru tahu bahwa ternyata Dusun Marong menyimpan kekayaan berupa sentra industry kerajinan bambu.  Yang unik, kerajinan bambu ini adalah khusus peralatan masak seperti “Kalo”, “Irig” dan tampah. Pak Nur Hakim ini adalah pengrajin senior, dan bahkan sebelum masa kemerdekaan, mayoritas warga setempat di dusun Marong sudah memulai kerajinan bambu tersebut. Dulu, jumlah pengrajin dan hasil kerajinan bambu lebih banyak daripada saat ini. Jika saat ini terhitung  sekitar 250 warga dari total sekitar 285 warga karena banyak warga yang hanya mengerjakan kerajinan saat waktu senggang, selain itu sehari-hari mereka berprofesi sebagai petani atau buruh tani.

Irig yang siap finishing

“Saya sendiri masih kuat membuat hingga 50 lebih sehari. Tapi sekarang biasanya dikumpulkan kemudian seminggu baru diambil pengepul. Per KK biasanya membuat sekitar 200 lebih dalam satu minggu dan diambil saat malam hari pasaran, yaitu malam Minggu Kliwon” kata Pak Nur.

Masalah harga, sebenarnya harga per Irig cukup terjangkau dari pengrajin. Irig yang kecil dengan diameter kurang lebih 20cm, biasanya berkisar Rp 5.500 dan yang lebih besar terpaut Rp 2000. Sementara harga di pasar maupun di tingkat pedagang biasanya selisih hingga Rp 3000 atau lebih.

“Kadang, pedagang di Pasar Kertek tidak kebagian. Karena diambil pengepul dan dibawa ke luar kota, mungkin sampai ke Semarang juga,”.

Ada yang tahu rak bawang? Coba deh cek di IG dengan hashtag #rakbawang. Dusun Marong juga bikin lhooo.. hasil binaan Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, dan Transmigrasi Kab. Wonosobo di bidangnya mas Adit, yang merupakan kolaborasi dengan sentra industri tralis di Jlamprang, Wonosobo. Marong membuat kalo/irig-nya, dan Jlamprang membuat tiang besi-nya.

Rak bawang yang ngehits di IG,bisa diproduksi di disini lho

Tidak hanya berbincang ke rumah pak Nur, kami juga berkesempatan ke rumah Pak Kaswito yang juga seorang pengrajin kalo. Menurut pak Kaswito, para pengerajin sendiri saat ini didominasi para pendatang yang menikah dengan warga asli. Bahkan untuk satu rumah atau satu KK biasanya ada tiga hingga empat orang yang menjadi pengrajin. Bener sih, di rumah pak Kaswito saja ada anak laki-lakinya dan anak perempuan yang sedang melakukan proses produksi. Tetangganya, mbah Wahyuti dan anak perempuannya juga sedang asyik menganyam. Saat saya berjalan dari rumah pak Nur menuju pak Kaswito, tidak sengaja melihat ada perempuan berumur sebaya juga sedang menganyam bambu sambil menemani anaknya bermain.

Banyak di dusun ini, satu keluarga juga mengerjakan produk dari awal hingga jadi

Menurut pak Kaswito, tahapan pengerjaan-nya cukup mudah (bagi yang sudah belajar dan biasa dong ya :D)  dan bambu sebagai bahan baku juga masih cukup terjangkau harganya, sekitar Rp 25.000 – Rp 30.000 untuk kualitas yang standar. Prosesnya juga bisa dilakukan satu orang hingga jadi menghasilkan produk “kalo” . Tapi yang sudah-sudah, satu keluarga terlibat dan dibagi dalam pengerjaannya. Ada yang memotong, menganyam, menjemur dan finishing.

Saya jadi sedikit-sedikit paham istilah dalam pengerjaan “kalo” ini. Ada “wengku” (lingkaran bambu yang tebal untuk menjepit anyaman, yang biasa kita pegang/untuk pegangan) , lalu ada istilah “ngirat” (yaitu membelah bambu hingga menjadi tipis dan siap dianyam), “tutus /nutus” (adalah mengikat wengku dengan anyaman agar erat dan rapi), “anyam” (kayaknya ini istilah paling familiar ya, hihi), dan ada pula istilah “nggarang” (finishing berupa memanaskan “kalo” diatas bara api/api hingga serabut-serabutnya hilang dan rapi)

Ini adalah “wengku”

 

Proses penjemuran

 

Menganyam

Sebagian besar pengrajin berharap agar lebih diperhatikan pemerintah, terlebih untuk regenerasi dan pelatihan produk lain. Mereka juga sangat terbuka dan sangat sadar bahwa di era sekarang penggunaan bambu tidak hanya memenuhi dasar kebutuhan namun juga memenuhi standar estetika. Nhah, itu yang ditangkap mas Adit & tim serta bisa memproyeksikan bahwa dusun Marong berpotensi menjadi dusun sentra kerajinan bambu.

“Populasi pengrajin cukup banyak, lokasi mudah dijangkau dan ciri khas daerahnya sudah ada, menurut kami Marong layak didukung untuk menjadi sentra industri bambu. Semoga bisa merambah ke produk-produk yang bisa digunakan di berbagai bidang. Salah satunya ya mereka bisa melahirkan produk baru berupa rak bawang dan bumbu dapur yang merupakan inovasi dari produk irig”, demikian kata mas Adit.

Saya pribadi sih, setuju dan sangat mendukung kalau dusun ini bisa menjadi sentra industri bambu, atau kampung Irig atau nama apapun yang mendukung. Saya juga sedikit membayangkan sebenarnya bisa dan sangat bisa memasukkan wisata edukasi disini. Misal di kampung batik kita bisa belajar bikin batik , di sentra industri keramik kita bisa bikin pot/gelas cantik, maka ndak terbatas kemungkinan dong kalau disini juga ada edukasi membuat kerajinan irig?

Yeeayy! Tim hore 😀

Btw, ini trip pertama kali kami dengan Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian, dan Transmigrasi Kab. Wonosobo. First impression, mas Adit dan teman-teman masih sangat muda, sangat terbuka dengan banyak saran, dan Alhamdulillah banyak hal yang sevisi dengan kami. Jadi, kami (dan saya sendiri) sangat menikmati perjalanan minitrip ini. Semoga selalu bisa terjalin kerjasama yang baik ! Aamiin!

Oiya, Ilham juga sempat pesan rak bawang ini lho, seminggu lagi jadi, gak sabar mau lihat kaya apa jadinya. Kalau sudah jadi, nanti saya posting yaaa.. Eh, sebenarnya masih ada tujuan ketiga kami, dan ini juga kereeennn,, tapi saya tulis di postingan baru aja ya. Soalnya udah 1200 kata ,nanti bosen kalian bacanya hahahaha…

CU! :))

5 thoughts on “Berkunjung ke Kampung Irig di Dusun Marong, Kertek, Wonosobo”

  1. Kinan jalan2 ih, ikut dong.. Eh btw kl pengrajin pengin diperhatikan pemerintah aku juga dong pengin diperhatikan si dia.. Bahaha
    Keren ih rak bawangnya

  2. Jadi inget…dulu kakek-nenek angkat yang mengasuhku itu seorang pengrajin bambu lebih tepatnya tempat memikul ikan yang masih hidup dan terbuatnya ya dari anyaman bambu yang dilapisi aspal cair atau *tir…tapi si kakek sudah meninggal dunia…

Leave a comment